Mengenang Tragedi Penusukan Khalifah Umar Bin Khattab, Misteri Konspirasi Kebencian Persian 'Hurmuzan'
Tragedi Penusukan Khalifah Umar bin al-Khattab 13 abad yang lalu. Sang Khalifah ditusuk berkali-kali pada 23 Dzulhijjah 23 Hijriah (6 Oktober 644 M) ketika tengah mendirikan shalat.
Kisah Islam di bawah Kekhalifahan Umar, disebutkan Peter Crawford dalam The War of the Three Gods: Romans, Persians, and the Rise of Islam, adalah cerita permulaan kejayaan Islam. Di bawah Kekhalifahan Umarlah ajaran Islam menyebar ke luar Jazirah Arab. Utamanya ke barat dengan menaklukkan Romawi Timur dan ke timur lewat penaklukkan Persia.
“Di bawah (Kekhalifahan) Umar ajaran itu menyebar ke hampir semua penjuru mata angin. Beliau juga bertanggungjawab atas kuatnya organisasi pemerintahan yang membuat kekhalifahan bisa mengonsolidasikan kekuasaannya di wilayah-wilayah baru yang telah ditaklukkan,” tulis Crawford.
Wilayah-wilayah taklukan Umar di sepanjang Suriah, Palestina, Mesopotamia, dan Persia lalu dibagi menjadi provinsi. Tiap provinsi yang dikepalai gubernur pilihan Umar memiliki hierarki kepemimpinan masing-masing untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta mengumpulkan pajak-pajak. “Di masa Umar pula pada tahun 639 ditetapkan penanggalan Islam dimulai dari peristiwa Hijrah, peristiwa kala Nabi Muhammad pindah dari Mekkah ke Madinah,” sambungnya.
Kendati Umar berusaha memerintah dengan seadil-adilnya menurut syariat Islam, tak semua orang senang terhadapnya. Terutama, orang-orang dari negeri yang ditaklukkan, semisal Persia. Piruz Nahavandi alias Abu Lu’lu’ah salah satunya.
Dalam History of the Caliphs karya Rasul Ja’fariyan disebutkan, Abu Lu’lu’ah adalah pelaku tunggal pembunuhan terhadap Khalifah Umar. Motifnya adalah kejengkelan Abu Lu’lu’ah karena merasa ‘curhatnya’ terhadap Khalifah Umar terkait pajak yang membebaninya sebagai budak dari Al-Mughirah bin Syu’bah, Duta Besar Kekhalifahan untuk Persia, tidak mendapat jawaban yang memuaskannya.
“Mulanya Umar tak mengizinkan orang non-Arab untuk masuk Madinah. Namun Mughira bersurat kepada Umar yang mengatakan bahwa ia punya budak yang juga seorang pelukis, pandai besi, dan tukang kayu handal dan akan berfaedah bagi rakyat di Madinah. Umar pun setuju Mughirah membawa Abu Lu’lu’ah ke Madinah,” tulis Ja’fariyan.
Tetapi ketika bertemu Umar, Abu Lu’lu’ah komplain. Ia merasa terbebani dengan pajak dua dirham per hari yang mesti dibayarkannya sebagai budak kepada tuannya, Mughirah.
Umar, sambung Ja’fariyan, lalu menjawab. “‘Apa pekerjaanmu?’ Abu Lu’lu’ah menjelaskan dia seniman, pandai besi, dan tukang kayu. ‘Mengingat pekerjaanmu, pajakmu tidaklah berat.’ Umar sejatinya berniat untuk membicarakannya pula kepada Mughirah. Namun Abu Lu’lu’ah sudah terlebih dulu memendam kedengkian.”
Beberapa hari kemudian, Umar meminta Abu Lu’lu’ah membuatkannya kincir angin. Permintaan itu dijawab Abu Lu’lu’ah dengan mengatakan, dia akan membuatkan kincir angin yang akan dibicarakan semua orang di dunia. “Umar sebenarnya sudah mencium ancaman dari kata-kata itu, tetapi memilih untuk diam,” tambah Ja’fariyan.
Penggambaran konspirasi membunuh Khalifah Umar berdasarkan kesaksian Abdul Rahman Abu Bakar (Foto: Tarikhuna bi-uslub qasasi)
Abu Lu’lu’ah yang murka lalu mulai merencanakan untuk membunuh Umar dengan belati bermata dua yang ia buat sendiri dan ia lumuri dengan bisa ular. Pada 23 Dzulhijjah 23 H (31 Oktober 644 M), Abu Lu’lu’ah membulatkan tekadnya untuk menikam Umar saat memimpin shalat Subuh di Masjid Nabawi.
“Abu Lu’lu’ah ikut salat persis di belakang Umar. Seperti biasa, setelah iqamah dilantunkan, Umar menasihati para makmum, ‘Luruskanlah barisan kalian!’ Saat Umar melakukan takbiratul ihram, Abu Lu’lu’ah menikam pundak Umar dari arah belakang dan merobek perutnya dengan belati bermata dua. Umar pun terjatuh,” tulis Prof. Dr. Ali Muhammad ash-Shallabi dalam Biografi Umar bin Al-Khathab.
Abu Lu’lu’ah total menghujamkan senjata tajamnya enam kali ke tubuh Umar. Salah satunya ke arah pusar yang mengakibatkan luka fatal. Sembari berusaha kabur, Abu Lu’lu’ah menyempatkan membunuh 15 makmum, 12 makmum lain terluka.
Abu Lu’lu’ah akhirnya terpojok di satu sudut di luar masjid. Enggan ditangkap dan diadili, dia memilih bunuh diri.
Umar yang terluka lalu dirawat. Dalam sakitnya, ia masih mengeluarkan perintah agar digelar musyawarah di antara para sahabat nabi demi menentukan penggantinya. Sementara musyawarah masih digelar, Umar memberi mandat kepada Suhayb ar-Rumi sebagai khalifah sementara. Suhayb akan memimpin hingga putusan hasil musyawarah terkait siapa khalifah dikeluarkan.
Umar juga melarang Said bin Zaid, sepupu sekaligus adik iparnya, ikut dalam musyawarah. Larangan itu terkait kebijakan Umar menolak penunjukan sosok pengganti pemimpin Islam yang masih punya hubungan darah, tak peduli meski orang itu punya kualifikasi yang laik.
Tiga hari menjalani perawatan, Umar akhirnya wafat pada 26 Dzulhijjah 23 H (3 November 644 M). Sesuai wasiatnya, jenazahnya dikebumikan dekat Masjid Nabawi, berdekatan dengan makam Rasulullah SAW dan Khalifah Abu Bakar.
Umar Korban Konspirasi?
Penusukan Umar membuat putra bungsunya, Ubaidullah bin Umar, tak terima. Ia bikin perhitungan, ingin menghabisi semua orang Persia di Madinah. Hurmuzan, orang Persia yang jadi mualaf, jadi target pertama Ubaidullah. Target berikutnya adalah Jafinah (di beberapa sumber disebut Jufaina), orang Nasrani kawan Hurmuzan, dan seorang putri Abu Lu’lu’ah.
Ubaidullah menyasarkan pembalasannya terhadap Hurmuzan bukan tanpa alasan. Disebutkan Tayeb el-Hibri dalam Parable and Politics in Early Islamic History, kesaksian Abdul Rahman bin Abu Bakar memunculkan kecurigaan besar bahwa Hurmuzan terlibat dalam konspirasi pembunuhan terhadap Umar yang dilakoni Abu Lu’Lu’ah.
“Abdul Rahman dalam pernyataannya mengaku melihat pertemuan pada malam sebelum pembunuhan antara Hurmuzan, Abu Lu’lu’ah, dan Jafinah. Dikatakan bahwa dalam pertemuan itu, Hurmuzan tampak memeriksa belati bermata dua yang identik dengan yang dipakai pelaku untuk menusuk Umar. Saat memeriksanya, Hurmuzan menjatuhkan belatinya hingga kemudian ia sadar telah dipantau banyak orang,” tulis El-Hibri.
Rumor konspirasi itu, lanjut El Hibri, meluaskan kecurigaan lebih besar terhadap konspirasi orang-orang Persia di Madinah dan menciptakan pertikaian antara orang-orang Arab dan para mualaf non-Arab. Kecurigaan merujuk kepada para simpatisan Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW. Hurmuzan salah satu yang dicurigai.
Hurmuzan seperti disebut oleh Mughirah sebelum status budak Abu Lu’lu’ah dialihkan kepadanya pasca-Persia takluk, merupakan gubernur Khuzestan, provinsi milik Kekaisaran Sasaniah yang menguasai Persia. Hurmuzan kemudian ditangkap dan ditawan pasca-Pertempuran Al-Qadisiyyah (636 M).
“Hurmuzan sering berdebat dengan Umar tak hanya mengatasnamakan orang-orang Persia di Madinah, namun juga mengatasnamakan Ali. Hurmuzan sering membanding-bandingkan kebijakan Umar dengan Ali di antara kaum Anshar,” lanjutnya.
Deskripsi Pertempuran Siffrin, salah satu pertempuran terbesar dalam Perang Saudara I (Foto: Smithsonian Institution)
Fakta itu ditambah kesaksian Abdul Rahman membuat Ubaidullah membunuh Hurmuzan. Amuk Ubaidullah baru reda setelah dinasihati Gubernur Mesir Amr bin al-Ash.
Umar yang sempat mendengar hal itu menjelang ajalnya, memerintahkan putra bungsunya itu dijebloskan ke penjara. Namun, perintah itu tak dilaksanakan Utsman bin Affan yang terpilih menjadi khalifah empat hari pasca-Umar wafat.
Utsman pula yang menyarankan Ubaidullah pindah dari Madinah ke Kufa untuk menghindari utang “nyawa dibayar nyawa” akibat membunuh Hurmuzan, saat terjadi peralihan kekuasaan ke Khalifah Ali (656 M). Ubaidullah lalu terbunuh di hari kedua Pertempuran Siffin (26-28 Juli 657 M) sebagai bagian dari Perang Saudara I.
Dari Berbagai Sumber
syamsil/peradabanislam
Post a Comment